- 22/12/2022
- Posted by: Kubik Leadership
- Category: Articles

By : Andra Donatta, Trainer Kubik Group
Melakukan sesuatu yang tidak disukai memang tidak nyaman. Kita melakukannya jadi setengah hati, terasa berat bahkan membawa kepada mood yang tidak baik.
Apalagi jika hal tersebut dilakukan berulang ulang setiap hari. Maka sulit rasanya melangkahkan kaki untuk melakukannya, apalagi menikmatinya.
Dalam kondisi seperti ini, rentan bagi seseorang untuk mempercayai hal hal yang belum tentu baik. Mereka terus mencari alasan yang sangat mendukung perasaan dan pikiran mereka saat itu.
Maka kalimat yang sering muncul dibenak adalah :
“Ini bukan passion saya”
“Saya harus pindah nih”
“Saya gak merasa maju disini”
“Bukan disini tempat saya”
“Eh, yang dia lakukan asyik tuh kayaknya”
“Aku pengen kayak dia”
Dll
Tanpa disadari, kalimat diatas semakin menguatkan bahwa yang kita lakukan memang terpaksa adanya dan butuh pelarian. Apalagi ditambah melihat rekan rekan sejawat di sosial media tampak memposting hal hal yang menarik di pekerjaannya yang semakin membuat kita iri.
Menggunakan kata passion seringkali membutuhkan kecermatan terlebih dahulu. Banyak yang akhirnya memilih menjadi “kutu loncat” dengan alasan mencari passion.
Di Amerika, hal ini pun muncul dipicu oleh pidato Steve Jobs di acara wisuda Stanford University, musim panas 2005. Steve mengatakan hal yang sangat fenomenal yaitu,
“…the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking.”
Cal Newport adalah seorang profesor ilmu komputer di Georgetown University. Selama beberapa tahun, ia mewawancarai banyak orang yang dikenal mencapai keberhasilan dalam bidangnya. Ia juga meninjau ulang berbagai hasil penelitian dalam bidang kepuasan dan motivasi kerja.
Newport menemukan penelitian yang menunjukkan hanya sedikit sekali orang yang merasa memiliki passion yang sudah ada sejak dulu. Sebaliknya, berbagai studi menunjukkan, mereka yang merasa sangat antusias bekerja justru adalah mereka yang sudah menggeluti bidang itu dalam waktu yang cukup lama.
Newport juga membaca biografi Steve Jobs dengan seksama. Terlepas apa yang disampaikan steve dalam pidatonya, steve sendiri bersama rekannya memulai bisnis Apple diawali dorongan untuk mencari uang dan menggelutinya. Bukan karena passionnya yang membuat ia menggeluti dunia teknologi.
Jelas bahwa passion bukanlah prasyarat. Sebaliknya, Newport menemukan bahwa passion adalah sebuah konsekuensi alias efek samping dari ketrampilan yang memiliki nilai tambah bagi banyak orang.
Nah, ketrampilan yang bernilai tinggi didapatkan dari ketekunan dan kerja keras dimana didalamnya pasti ada rasa tidak nyaman yang harus diterima.
Sikap inilah yang oleh Newport disebut sebagai mentalitas pengrajin (“craftman mindset“). Orang yang mengadopsi mentalitas pengrajin selalu berpikir tentang bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik dalam bidangnya sehingga mereka bisa memberi nilai lebih.
Sudahkah kita memiliki ketrampilan yang memiliki nilai lebih?
Artikel ini diadopsi dari artikel Cal Newport “Dont follow your passion”.
Informasi training: hubungi Murni di 021-781-3030 atau 082-111-999-022
Subscribe Video Motivasi Jamil Azzaini di Youtube Channel Kubik Leadership
Sebelum menentukan karir ke depan ada baiknya mengenali diri sendiri. Mulai dari passion, kemampuan, kesukaan dan limitasi diri sendiri. Seperti yang dikatakan Salsabi Rolansyah, dari Klob dalam webinar Airlangga Career Club dengan tajuk Understanding Yourself Before Making Important Career Decisions. Cek selengkapnya di sini: https://dpkka.unair.ac.id/content/view?id=276&t=ajak-mahasiswa-kenali-passion-sebagai-kunci-kesuksesan