Kubik Leadership

Monday Knowledge: Seni Mengambil Keputusan

775

 

Kubik Leadership / Lead for Impact

“Anda pilih siapa di PilPres 2019 nanti? Hati-hati salah pilih lho!”

“Pusing saya. PilPresnya tahun depan, tapi informasi dari sana-sini sudah berjejalan di otak saya. Makin banyak info, makin pusing!”

Bulan April tahun 2019 kita akan menggunakan kembali hak pilih sebagai warga negara untuk menentukan siapa akan menjadi pemimpin Republik Indonesia. Keramaiannya sudah sangat terasa saat ini, terutama ketika Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto sudah mendeklarasikan diri menjadi kandidat Presiden.

Kelihatannya tidak sedikit masyarakat yang merasa kewalahan dengan berbagai informasi mengenai kedua kandidat, termasuk para timnya. Mulai dari informasi yang didapat di televisi, di percakapan dengan tetangga atau rekan kerja, dan terutama dari internet yang kini sudah mendominasi hidup kita. Kita dengan segera dapat membaca dari berbagai portal berita hingga aplikasi media sosial. Ramai sekali.

Belum lagi membedakan antara berita yang akurat dengan hoax. Bagaimana bila kita tidak punya banyak waktu untuk mengkroscek berita dan emosi sudah ikut terlibat karena beritanya sangat ekspresif? Akhirnya keputusan untuk klik share berita atau copy paste menjadi pilihan. Padahal, belum tentu pilihan ini adalah pilihan yang bijak, kalau ternyata berita tersebut hoax atau berita bohong yang disebarluaskan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Situasi seperti jelang Pilpres ini bukanlah sesuatu yang jarang kita temui. Bahkan dengan kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi masa kini, situasi masalah justru semakin variatif, tidak bisa terprediksi, berubah dengan cepat. Data dan informasi yang bertebaran belum tentu membantu. Bisa jadi membuat kita semakin bingung dan merasa di tengah ketidakpastian.

Maka itu, seni mengambil keputusan di tengah ketidakpastian menjadi semakin darurat untuk dikuasai. Terlebih bagi mereka yang memegang peranan leadership di organisasinya, pada level apapun. Lydia Dishman di Fast Company pun menerangkan, keterampilan mengambil keputusan tidak mudah untuk dikuasai. Mengapa disini disebut sebagai seni, karena memang tidak ada yang baku. para Leader perlu luwes memainkannya seperti seniman sesuai kebutuhan.

Ketika Leader mampu mengambil keputusan dengan baik, kesuksesan organisasi menjadi hasilnya. Ini dibuktikan dalam penelitian Bain, seperti yang disampaikan Erik Larson di situs Forbes. Efektivitas keputusan punya kolerasi terhadap performa finansial sebanyak 95%. Sayangnya, banyak pemimpin yang gagal melakukannya karena membohongi diri sendiri.

Stowe Boyd, seorang futurist termahsyur menegaskan hal ini. Ia menemukan banyak Leader yang yakin bahwa keputusannya rasional, logis, sudah sesuai dengan pandangan para ahli, dan sudah membandingkan bukti-bukti dari setiap alternatif. Namun kenyataannya tidak. Contoh seperti ini juga bisa kita lihat pada para fans garis keras kandidat presiden. Seperti cinta buta, semua yang dilakukan kandidat presiden pilihannya sempurna. Sementara pesaingnya selalu salah dan seperti tidak ada kebaikannya sama sekali.

Dari situ kita sadari bahwa ruang lingkup keputusan tidak hanya berarti mengambil keputusan sekali lalu selesai. Sadari bahwa kita perlu; mengambil keputusan – menjalani keputusan – mereview ulang keputusan kita. Dengan melakukannya secara konsisten, kita akan semakin ahli dan bijak sebagai pengambil keputusan. Proses pembelajaran dari keputusan yang sukses, yang tidak sepenuhnya sukses, yang tidak sepenuhnya gagal, yang gagal total, memberikan banyak masukan untuk proses kita memilih di situasi berikutnya.

Yang tidak kalah penting, kita perlu menempatkan diri sebagai pengambil keputusan yang sesuai konteks. Jangan menggunakan pendekatan yang sama terus-menerus padahal masalah yang dihadapi berbeda. Jadilah seniman yang luwes untuk meraih keputusan yang tepat. Snowden dan Boone dalam Harvard Business Review mengupas secara mendalam framework pengambilan keputusan bagi para Leader dengan cara mengenali konteks masalah.

Yang pertama adalah masalah yang termasuk dalam simple context. Contoh, saya tidak mengenal riwayat hidup kedua kandidat presiden secara umum. Pendekatan yang tepat dalam kondisi ini adalah mengikuti best practice (metode / cara yang sudah umum dilakukan dan tingkat keberhasilannya tinggi). Anda dapat melihat riwayat hidup yang nantinya dipublikasikan oleh Komisi Pemilihan Umum. Biasanya riwayat hidup disana sudah terverifikasi. Dalam dalam situasi pekerjaan, contoh situasi ini adalah ketika ada masalah pengadaan barang. Bagaimana bila barang ini sangat dibutuhkan namun tidak masuk budget. Anda cukup cek di SOP perusahaan Anda atau praktek di perusahaan lain yang sejenis.

Yang kedua adalah masalah yang termasuk dalam complicated context. Contohnya, saya tidak yakin figur presiden seperti apa yang dibutuhkan negara saat ini. bila di simple context, biasanya hanya ada 1 pilihan jawaban yang tepat, di complicated bisa jadi ada beberapa pilihan. Untuk itu, perlu dilakukan riset dan analisa terlebih dahulu untuk mengambil pilihan yang terbaik. Pendekatan yang tepat dalam kondisi ini adalah expert. Cari pendapat para ahli kemudian analisa agar tahu kualitas penting dalam figur presiden dan cara menilainya. Dalam situasi pekerjaan, contoh complicated context adalah saat kita melakukan product development. Riset bersama para ahli akan membantu kita mengambil keputusan produk apa yang tepat untuk diluncurkan.

Yang ketiga adalah masalah yang termasuk dalam complex context, dimana jawaban yang benar seringkali tidak bisa langsung ditemukan. Ketika terjadi perubahan besar di dalam organisasi, seperti performa bisnis yang jatuh drastis, perubahan manajemen, adanya merger atau akuisisi, maka situasinya menjadi tidak bisa terprediksi. Pendekatan yang tepat pada situasi ini adalah emergence. Kita membuka ruang diskusi secara terbuka. Leader perlu sabar mengikuti alur dulu, melakukan pendekatan dengan pihak-pihak terbaik, memahami kebutuhan pada saat ini, dan kemudian berespon untuk memenuhi kebutuhan. Meskipun dalam kondisi kita masih tidak tahu apa jawaban yang benar. Bila itu yang dilakukan, solusi terbaik justru akan muncul sendiri.

Terakhir adalah masalah yang termasuk chaotic context. Dalam kondisi kacau, mencari jawaban benar adalah sia-sia. Sebab, yang ada hanya kekacauan. Yang perlu dilakukan Leader adalah menyelamatkan tim dan organisasi. Beri perintah untuk meningkatkan stabilitas, dan terus bergerak maju meskipun sedikit demi sedikit. Targetnya adalah mengubah kondisi chaos menjadi berada di complex context. Untuk itu fokusnya adalah keadaan tenang untuk sementara, hanya ada perintah. Tidak ada waktu untuk bertanya atau meminta masukan.

Dengan memahami ruang lingkup keputusan dan pilihan pendekatan sesuai konteks yang dihadapi, Anda akan berhasil mengambil keputusan meski di tengah ketidakpastikan. Saat ini Anda berada di konteks situasi apa? Sudah mengambil pendekatan yang tepat?



Leave a Reply

Open chat
1
Salam SuksesMulia,

Terima kasih telah mengunjungi Kubik Leadership - HR partners specializing in Leadership and Personal Development.

Ada yang bisa kami bantu untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis Anda?

klik icon whatsapp dibawah ini.