Pohon Mahoni di Depan Rumahku
- 08/06/2022
- Posted by:
- Categories: Articles, News Category
Indrawan Nugroho
Sore itu akhirnya aku menyerah. Setelah hampir sehari penuh aku coba fokuskan pikiran ke tumpukan dokumen didepanku, akhirnya aku katakan pada sekretarisku bahwa aku akan pulang lebih cepat. Aku kemasi beberapa dokumen kemudian bergegas pergi.
Sesampainya di rumah, ternyata sepi. “Ibu sedang keluar, Pak. Anak-anak lagi main di rumah depan”, begitu lapor si mbak.
Aku kemudian duduk sendiri di ruang studi sambil menghadap ke luar jendela. Beberapa minggu ini segala sesuatunya tidak mudah bagiku. Di kantor baru saja ada transisi besar yang menempatkan aku pada posisi yang tidak nyaman. Belum lagi masalah keuangan perusahaan yang akhirnya merembet juga ke urusan dapur rumah. Aku lelah dan benar-benar merasa sendirian.
Di depan rumahku berdiri sebuah pohon Mahoni besar yang ujung rantingnya menjulang setinggi atap rumahku. Pohon itulah salah satu alasan yang membuatku memutuskan untuk membeli rumah ini. Dia besar, kokoh, dan meneduhkan. Tapi sore itu pohon itu sama sekali tidak terlihat menarik. Semua daunnya rontok. Yang terlihat hanyalah ranting-ranting kering yang kurus. Kalaupun masih ada daun yang tersisa pastilah sudah layu, cokelat, dan keropos. Menunggu waktu untuk lepas dari rantingnya. Pohon itu tidak lagi meneduhkan. Bahkan daun-daunnya yang rontok justru mengotori halaman rumahku.
“Hai pohon”, bisikku kepadanya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Saat ini pastilah kamu merasa menjadi makhluk yang paling tidak berguna. Sementara banyak orang menaruh harapan pada dirimu, kau justru mengecewakan mereka semua.”
Bel pintu rumah berbunyi, anak-anak sudah pulang. Biasanya aku langsung lari menjemput dan memeluk mereka satu per satu. Tapi sore itu aku tidak merasa ingin melakukannya. Aku pun beranjak menuju kamar tidur dan merebahkan tubuhku sambil berbisik, “ Ya Tuhan, berikanlah aku petunjuk-Mu…”.
Keesokan harinya aku duduk di beranda depan. Membolak-balikkan koran pagi yang baru saja datang. Tak lama seekor burung kecil melintas di depanku dan hinggap di sebuah ranting pada pohon Mahoni depan rumahku. Dia bercicit sebentar kemudian terbang lagi. Saat itulah kemudian aku menyadari sesuatu. Di ujung ranting tempat burung itu hinggap, ada sebuah tunas daun yang tumbuh. Warnanya hijau bersih berbalut embun pagi.
“Kemarin sepertinya itu tidak ada,” gumamku dalam hati. Aku jadi penasaran. Aku cermati lagi setiap ranting. Itu ada lagi, dan itu juga! Indah sekali. Keesokan harinya aku kembali melakukannya, dan ternyata semakin aku mencari, semakin banyak tunas daun yang aku temukan.
Sontak aku tertegun. Tuhan telah berbicara padaku. Selama ini aku hanya melihat masalahnya, kurangnya, kosongnya. Sehingga aku gagal melihat segala keindahan yang Tuhan hadirkan dalam hidupku.
Benar bahwa aku punya masalah. Benar juga bahwa sekarang kondisinya sedang tidak mudah. Tapi bukankah aku juga memiliki seorang istri yang tidak pernah mengeluh dan selalu mendukungku? Bukankah aku punya anak-anak yang selalu menjadi penyejuk hatiku? Bukankah aku punya tim yang hebat di kantor? Bukankah aku memegang penuh kendali perusahaan dan kepercayaan para pendiri?
Ada enegi baru tumbuh dalam ragaku. Ada api menyala dalam jiwaku.
Sejak itu, setiap hari aku menikmati keindahan pohon mahoniku yang semakin lama semakin menghijau. Lalu bagaimana dengan daun-daun kering yang jatuh mengotori halaman? Ya tinggal di sapu saja. Beres. Kenapa dibikin susah? Lagi pula jika seandainya daun daun itu tidak rontok, bagaimana mungkin tunas-tunas itu akan tumbuh?
Begitulah Tuhan mengatur segalanya. Tidak ada satupun daun yang jatuh tanpa seijin-Nya. Ia menggugurkan yang lama untuk memberi jalan pada yang baru.
Aku paham sekarang. Ini masa yang berat memang, tapi justru itulah yang Aku perlukan. Perusahaan yang aku turut dirikan sepuluh tahun yang lalu, kini siap memulai babak yang baru. A fresh start, tanpa beban masa lalu.
Dan sepertinya, demikian juga halnya dengan diriku.
Pagi itu sebelum berangkat kantor, seperti biasa, aku peluk anak-anakku dan aku cium istriku. Kemudian bergegas menuju mobil sambil menyapa pohon Mahoni yang daunnya semakin rindang meneduhi rumah kami.